Pages

Kembali ke Gunung Gede

Gunung Gede bisa dikatakan salah satu gunung yang paling sering didaki oleh kalangan penggiat alam bebas. Karena lokasinya yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, Bandung dan sekitarnya, maka hampir setiap pekan dapat dijumpai para pendaki mencoba mendaki gunung setinggi 2.958 m.dpl itu. Gunung Gede berada dalam lingkup Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang merupakan salah satu dari lima taman nasional yang pertama kali diumumkan di Indonesia pada tahun 1980. TNGGP terletak di wilayah tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Secara geografis, TNGGP berada pada lintang 106°51' - 107°02' BT dan 64°1' - 65°1 LS. Suhu rata-rata di puncak gunung Gede 18°C dan di malam hari suhu puncak berkisar 5°C, dengan curah hujan rata-rata 3.600 mm/tahun.

Untuk mendaki Gunung Gede, pihak TNGGP menyediakan beberapa jalur, yaitu jalur Cibodas, Gn. Putri, dan Selabintana (Sukabumi). Sebelum mendaki, para pendaki diwajibkan mendaftarkan diri kepada pihak TNGGP, baik secara langsung di kantor pusat TNGGP yang terletak di Cibodas maupun secara online melalui situs resmi TNGGP maksimal 3 hari sebelum pendakian.

Cibodas merupakan gerbang utama, selain jalur pendakiannya yang relatif lebih landai, disepanjang jalur Cibodas dapat dijumpai beberapa pemandangan seperti Telaga Biru, Air Terjun Cibereum, Air Panas, dan sumber air yang jernih di Kandang Badak. Jalur Selabintana merupakan jalur yang paling jarang dilalui pendaki karena jalurnya yang lebih panjang dan curam, serta lebih menantang sehingga dibutuhkan persiapan yang lebih matang.

Pendakian kali ini, kami putuskan melalui jalur Gunung Putri. Perjalanan dimulai dengan menumpang bus jurusan Jakarta-Cianjur melalui terminal bus Kampung Rambutan. Akibat gerbang tol Ciawi ditutup karena kunjungan Presiden SBY ke Istana Cipanas, maka bus yang kami tumpangi harus mengambil jalan memutar melalui rute Jonggol. Dampaknya waktu tempuh yang seharusnya hanya 2 jam molor menjadi 4 jam lebih, dan kami terpaksa turun di kota Cianjur. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan dengan menumpang angkot jurusan Cianjur-Pasar Cipanas. Dari Cipanas kami masih harus melanjutkan perjalanan ke Desa Sukatani, Gn. Putri. Karena saat itu sudah tengah malam dan Puncak serta sekitarnya barusan diguyur hujan lebat, maka kami pun terpaksa mencarter angkot. Setibanya di Desa Sukatani, Gn. Putri, kami menumpang istirahat di rumah salah satu penduduk.



















Keesokan paginya, sebelum melakukan pendakian, terlebih dahulu kami melakukan pendaftaran ulang di Pos GPO (1.450 m.dpl). Pagi itu, cuaca sangat mendukung walaupun kami tidak dapat melihat puncak Gunung Gede karena tertutup oleh kabut, namun sepanjang perjalanan sampai dengan batas hutan, kami disuguhi pemandangan ladang dan para petani yang sedang menggarap lahan mereka. Setelah sampai di area hutan pinus yang merupakan Hutan Produksi yang dikelola oleh KPK Perhutani Cianjur, kami melewati sebuah sungai kecil.

Setelah beristirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos Tanah Merah (1.850 m.dpl). Setibanya disana, saya cukup kaget melihat kondisi yang ada sekarang. Seharusnya di Pos ini terdapat sebuah rumah panggung yang merupakan pos penerangan TNGP. Terakhir kali saya kemari, sekitar tahun 2007, rumah panggung tersebut masih ada walaupun kondisinya tidak terawat dan banyak bagian yang bolong karena kayunya dijadikan kayu bakar oleh beberapa pendaki yang tidak bertanggungjawab. Kini, rumah panggung tersebut sudah tidak ada dan hanya menyisakan beberapa bagian yang dicor semen.

Perjalanan pun kami lanjutkan menuju Pos Legok Lenca (2.150 m.dpl) dan Buntut Lutung (2.300 m.dpl). Setelah pos ketiga, cuaca mulai berkabut, kadang disertai tetesan air menyertai langkah kami menelusuri jalur pendakian yang semakin terjal dan curam, dan semakin menguras tenaga kami. 
Tiba di Pos Lawang Seketeng (2.500 m.dpl) kami bertemu dengan satu keluarga pendaki, suami istri dan anaknya yang tertidur lelap di tas gendong berbentuk ransel. Saya perkirakan, anaknya baru berumur sekitar 3-4 tahun. Saya sungguh kagum melihat keluarga pendaki tersebut. Selama ini saya hanya pernah membaca tentang salah satu pendaki yang sering mengajak anak perempuannya dalam setiap petualangan mereka, yaitu Om No (Alm. Norman Edwin). Sekarang, saya melihat sendiri, ternyata ada keluarga lain yang sudah memperkenalkan kegiatan alam kepada anak-anak mereka sejak belia. Satu hal yang jarang sekali ditemukan di keluarga-keluarga saat ini, yang justru akan melarang anak-anak mereka untuk mengikuti kegiatan alam bebas dengan berbagai macam alasan karena menganggap kegiatan ini hanya kegiatan yang sia-sia.

Sebelum mencapai Alun-alun Timur, kami melewati Pos Simpang Maleber yang berada pada ketinggian 2.625 m.dpl. Sore itu, warna langit kebiruaan disertai cahaya keemasan di ufuk barat menyambut kedatangan kami di Alun-alun Suryakencana (2.750 m.dpl), yang merupakan sebuah tanah lapang seluas 50 ha yang ditutupi hamparan bunga edelweiss (anaphilis javanica). Sesuai dengan rencana, perjalanan kami teruskan hingga ke titik nol Alun-alun dan mendirikan tenda disana. Sungguh disayangkan hamparan bunga edelweiss sudah tidak sebanyak dulu yang diakibatkan oleh kebakaran yang sempat terjadi beberapa kali di Alun-alun Suryakencana. Belum lagi ulah beberapa oknum pendaki yang dengan sengaja menebang dan menjadikan pohon edelweiss sebagai kayu bakar.

Pagi ini cuaca sangat cerah, langit biru dengan hamparan warna kuning savana dan puncak Gunung Gumuruh (2.927 m.dpl) tampak di depan kami. Setelah menyantap makanan yang telah disiapkan dan merapikan seluruh peralatan ke dalam ransel, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Gede.


Perjalanan menuju puncak didominasi oleh bebatuan terjal, dan hamparan pohon cantigi (Vaccinium Varingiaefolium). Sementara dibelakang kami sebagian besar Alun-alun Suryakencana sudah ditutupi oleh kabut. Akhirnya, setelah mendaki selama kurang lebih satu setengah jam, kamipun tiba di puncak Gunung Gede. Cuaca disekitar puncak Gunung Gede sudah ditutupi oleh kabut sehingga tidak banyak pemandangan yang bisa dilihat. Setelah mengambil beberapa foto, kami pun melanjutkan perjalanan turun ke Cibodas. 

Untuk menuju Cibodas, kami harus berjalan ke sebelah kiri mengitari kawah. Sangat disayangkan bahwa tiang-tiang pembatas yang dipasang mengitari ketiga kawah tersebut, saat ini kondisinya sudah rusak. Tali pengikat antar tiang sudah putus dan beberapa tonggak tiang sudah rubuh. Hal ini tentunya sangat membahayakan terutama pada saat terjadi hujan badai, mengingat jalur pendakian di sekitar kawah sangat sempit dan dikelilingi oleh jurang dikedua sisinya. Sisi kanan merupakan jurang yang langsung menuju ke kawah, sedangkan sisi kiri adalah lereng dengan kemiringan 45°-50° yang banyak ditumbuhi oleh pohon cantigi. 

Sebelum tiba di Tanjakan Setan, kami mengambil jalur menyisir ke sebelah kanan dari tanjakan tersebut. Kami memilih jalur ini karena lebih aman dibandingkan melalui Tanjakan Setan, yang merupakan turunan curam diantara bebatuan dan disisi kanannya langsung menghadap jurang. Perjalanan kami teruskan hingga ke Kandang Badak (2.395 m.dpl). Kandang Badak merupakan dataran yang terletak pada punggungan yang menghubungkan Gunung Gede dan Gunung Pangrango. Di Kandang Badak terdapat sumber air dan merupakan tempat mendirikan tenda. Setelah beristirahat, perjalanan kami teruskan ke Kandang Batu (2.220 m.dpl) dan Pos Pemandangan (2.150 m.dpl). Sebelum tiba di Pos Pemandangan, kami melewati Air Panas yang berasal dari kawah Gunung Gede. Disini terdapat sebuah Shelter kecil untuk beristirahat. Dari Pos Pemandangan, kami melanjutkan perjalananan hingga ke Batu Kukus (1.820 m.dpl), selanjutnya Air Terjun Cibereum (1.675 m.dpl). Perjalanan kami teruskan melalui jembatan yang dibangun dari Panyancangan Kuda (1.628 m.dpl), Rawa Gayang Agung (1.600 m.dpl) hingga Telaga Biru (1.500 m.dpl). Sebagian jembatan ini sudah di semen sehingga perjalanan pun terasa lebih nyaman. Akhirnya sekitar jam 9 malam, kami tiba di Kantor TNGP Cibodas (1.450 m.dpl). Perjalanan turun molor sekitar 3 jam karena salah satu rekan kami kehilangan kacamata di Air Panas. Tanpa sengaja, kacamatanya tersenggol saat sedang mencuci muka di Air Panas. Malam itu, kami beristirahat di Sekretariat Montana, yang merupakan volunteer TNGGP. Sekitar jam 4 subuh, kami berpamitan dengan teman-teman dari Montana, dan melanjutkan perjalanan ke Pasar Cibodas dengan harapan dapat menemukan angkot. Akhirnya setelah melewati gerbang Kebon Raya Cibodas, kami menemukan angkot yang sudah beroperasi, setelah tiba dipertigaan Cibodas-Jalan Raya Puncak, kami menumpang bus Jurusan Cianjur-Jakarta. 

Silahkan klik di https://www.facebook.com/Jelajah.Borneo88 untuk melihat foto-foto lainnya

4 comments:

  1. Mantap bro..moga bisa ke gede jg..
    salam kenal..
    www.backpackerborneo.com

    ReplyDelete
  2. Thx u mas bro....salam kenal juga.
    Ayo mas, kabarin aja kalo ada rencana ke gede.
    Mudah2an juga saya bisa main ke Kalimantan

    ReplyDelete
  3. trims Apo.. scr subyektif, sangat membantu mengenang masa2 itu, di Gunung Gede.

    ReplyDelete
  4. Foto2nya bagus mas. Suka banget :)

    ReplyDelete