Pages

Baduy, Sekarang dan Mendatang

"Lebih gampang beli, kalau bikin sendiri bisa, tapi repot"


Sambil menahan rasa pusing dan mual yang mulai terasa, saya berusaha tetap berkonsentrasi menahan guncangan yang disebabkan oleh jalanan rusak yang kami lewati. Entah karena asam lambungku mulai kumat karena belum diisi makanan berat sejak pagi tadi atau karena mabuk perjalanan akibat guncangan mobil yang melewati jalanan rusak selama ± 2 jam. Bahkan, di beberapa ruas jalan ada bekas longsoran yang dibiarkan begitu saja sehingga hanya tersisa satu jalur, sementara tidak ada tanda  atau marka jalan untuk memperingatkan pengguna jalan yang melewati daerah tersebut. Hati kecilku pun menyumpah dan tak habis pikir, masa iya pemerintah daerah melalui perangkat-perangkat desa yang ada tidak mengetahui kondisi tersebut dan tidak ada upaya sama sekali untuk memperbaikinya.

Saat itu awal November 2014, untuk kedua kalinya saya melewati jalan lintas Rangkasbitung – Ciboleger dengan tujuan Kampung Cibeo, Baduy Dalam. Kurang lebih satu setengah tahun yang lalu, tepatnya bulan Mei 2013 merupakan awal perkenalan saya dengan warga Baduy Dalam yang tinggal di Kampung Cibeo. Berawal dari postingan salah satu komunitas backpacker di media sosial mengenai perjalanan ke Baduy Dalam, saat itu saya langsung memutuskan untuk bergabung. Tiba pada hari H, kami berkumpul di stasiun Tanah Abang dan menunggu keberangkatan ke Rangkasbitung dengan kereta ekonomi Rangkasjaya. Saat itu tarif perpenumpang masih sekitar Rp. 5.000,-. Kondisi di dalam kereta sudah dapat diprediksi, panas dan penuh sesak, belum lagi pengamen, penjual minuman dan makanan yang mondar mandir, dan copet yang selalu mengintai.

Tiba di stasiun Tanah Abang, saya langsung menuju loket dan bermaksud memesan tiket untuk saya dan rombongan. Alangkah terkejutnya saya karena tarif kereta sudah naik menjadi Rp. 15.000,- dan untuk membeli tiket diwajibkan menyertakan kartu identitas penduduk yang asli. Setelah seluruh rombongan berkumpul dan tiket ada ditangan masing-masing, kami beranjak menuju peron keberangkatan. Melalui pengeras suara, petugas memberikan instruksi kepada penumpang agar menaiki kereta Rangkasjaya. Begitu menginjakkan kaki ke dalam kereta, seketika bayangan kondisi panas dan penuh sesak serta pengamen, tukang jualan dan copet yang mondar mandir pun sirna. Gerbong di dalam kereta terlihat bersih dan terdapat pendingin udara. Hebatnya lagi, jam 8.05 pagi kereta berangkat tepat waktu dan tiba di Rangkasbitung sesuai dengan jadwal yang tertera di tiket. Suasana di stasiun tampak penuh dengan penumpang, baik yang baru tiba maupun yang menunggu keberangkatan ke Jakarta. Selain rombongan kami, masih ada beberapa rombongan lain yang bertujuan sama, yaitu Ciboleger. Setelah bertemu dengan Kang Emen, warga Ciboleger yang menjadi penghubung antara pihak Baduy Dalam dengan tamu-tamu yang datang berkunjung, kami segera menuju ke angkot yang telah disiapkan. Hampir 75% kondisi jalan sepanjang Rangkasbitung – Ciboleger mengalami kerusakan, alhasil selama 2 jam, kami berenam bagaikan adonan kue yang dikocok di dalam angkot berwarna merah tersebut.

Dari balik kaca angkot, tampak beberapa rombongan tengah bergerombol di depan deretan toko yang ada di Ciboleger. Satu-satunya warung makan yang ada pun terlihat penuh oleh pengunjung, begitu pula dengan Alfamart yang merupakan satu-satunya minimarket di daerah tersebut. Kami segera menuju ke rumah Kang Emen untuk beristirahat dan menyantap makanan yang telah disiapkan. Tidak lama menyusul dua orang warga Baduy Dalam yang diperkenalkan oleh Kang Herman, yaitu Kang Sumiatin dan anaknya, Sariman, selaku pemandu dan pemilik rumah tempat kami menginap nanti malam.

Pengunungan Kendeng tampak berawan dan hawanya cukup panas. Jalan setapak yang kami lalui tampak kering dan berdebu, begitu pula air sungai Ciujung yang merupakan sumber mata air bagi warga Baduy tampak surut. Menurut Kang Sumiatin, daerah sekitar perkampungan Baduy sudah lama tidak turun hujan, kalaupun turun hujan hanya berupa gerimis dan berlangsung singkat. Hal ini kontras sekali dengan keadaan yang saya jumpai sewaktu kunjungan pertama. Saat itu, musim hujan baru berlalu, air sungai Ciujung tampak berlimpah dan arusnya cukup kuat, sementara untuk mencapai Cibeo, kami harus berjuang melewati jalanan setapak yang licin dan becek.

Dengan napas memburu, saya berusaha mempercepat langkah kaki mengejar anggota rombongan yang berada di depan. Sementara di belakang, Kang Sumiatin dan anaknya, Sariman, dengan sabar menemani rekan-rekan yang ada dirombongan belakang. Akhirnya saya berhasil menyusul rombongan di depan yang baru tiba di ujung tanjakan. Kebetulan ada penjual es cincau yang sedang mangkal di tempat tersebut, kami pun segera memesan es cincau untuk melepaskan dahaga kami. Tidak lama setelah melalui Kampung Gajeboh, kami tiba di jembatan bambu yang merupakan batas yang memisahkan Desa Baduy Luar dengan Baduy Dalam. Dari sini, perjalanan sudah tidak terlalu jauh, setelah melewati tanjakan terakhir, jalanan cenderung mendatar hingga perkampungan Cibeo. Sekitar jam 4.45 sore, kami pun tiba di Cibeo.

Mr. Sumiatin and his son.
Malam itu, kami menghabiskan waktu bercengkerama dengan keluarga Kang Sumiatin di rumahnya yang sederhana, khas suku Baduy. Tiang rumahnya didirikan  dari batang pohon bambu, sementara dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Rumah mereka sama sekali tidak menggunakan paku maupun perangkat pertukangan modern lainnya, tetapi hanya diikat dengan tali ijuk yang terbuat dari batang-batang tanaman yang telah dikeringkan. Rumah warga Baduy Dalam pun tampak seragam, selain berdiri ± 1 meter dari permukaan tanah, ruangan didalam rumahnya hanya terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama adalah bagian terluas yang menjadi ruang keluarga sekaligus ruang tamu, bagian kedua merupakan dapur dan terakhir merupakan tempat menyimpan perlengkapan keluarga. Teman-teman yang baru pertama kali ke Baduy tampak antusias bertanya kepada Kang Sumiatin seputar kehidupan dan budaya suku Baduy. Malam semakin larut, walaupun teman-teman masih antusias mendengarkan penjelasan Kang Sumiatin, namun percakapan malam itu harus kami akhiri karena kami harus beristirahat memulihkan tenaga kami untuk perjalanan pulang esok hari.

Sambil berusaha memejamkan mata dan menikmati alunan musik akustik khas  jangkrik di perkampungan Baduy, tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan sekaligus kekhawatiran, apakah warga Baduy Dalam dapat terus mempertahankan eksistensi adat dan budaya yang telah puluhan tahun mereka jaga dan lestarikan secara turun termurun? Dalam percakapan dengan Kang Sumiatin, saya menangkap beberapa keresahan, yang entah disadari atau tidak, tampaknya warga Baduy Dalam sendiri tak kuasa menahan arus peradaban yang semakin menghimpit sendi-sendi kehidupan mereka. Ambil contoh, saat ini ketiga kampung Baduy Dalam sudah membuka diri, terhadap kunjungan dari orang luar padahal dulu hanya satu kampung, dengan semakin banyaknya orang luar yang datang, suka atau tidak suka arus modernisasi pun akan ikut terbawa. Contoh lain, karena tinggal di dalam hutan, maka mereka harus pintar dalam mengolah bahan makanan, salah satu makanan favorit mereka adalah ikan asin. Tentunya untuk mengolah ikan asin dibutuhkan minyak goreng. Nah, untuk minyak goreng tersebut, Kang Sumiatin lebih memilih membeli daripada mengolah sendiri, seperti tuturnya berikut ini:

“Lebih gampang beli, kalau bikin sendiri bisa, tapi repot” kata Kang Sumiatin


Hal lain adalah timbulnya persaingan ekonomi antara orang Baduy Dalam dengan orang-orang dari luar yang datang untuk souvenir dan jasa urut.

“Kang, nanti kalo teman-temannya mau urut, jangan sama orang yang datang nawarin urut ya, tapi kasih tahu ke kita aja” kata Kang Sumiatin

“Oh…memangnya kenapa kang?” tanya saya

“Kalau sama orang yang nawarin urut itu, urutnya suka gak bener, lagipula mereka bukan orang Baduy. Begitu juga kalo mau beli gantungan atau gelang, jangan sama orang yang datang nawarin, suka dimahalin” jawab Kang Sumiatin

“Mereka juga bukan orang Baduy” tanya saya lagi 

“Bukan” jawab Kang Sumiatin

Jembatan Akar (The Root Bridges)
Note: 
  1. Hargai budaya dan adat istiadat setempat. Suku Baduy Dalam  memilikibeberapa pantangan, sebaiknya bertanyalah terlebih dahulu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. 
  2. Jaga kebersihan lingkungan dan buanglah sampah pada tempatnya. Ya, bawalah plastik sampahmu sendiri. Buanglah bekas bungkus makanan, botol minuman dan puntung rokok ke dalam plastik tersebut dan buanglah pada tempat yang telah disediakan. 
  3. Seperti kata pepatah “Banyak jalan ke Roma”, demikian pula ke Baduy Dalam. Jalur manapun yang anda pilih, sebaiknya melaporlah terlebih dahulu kepada Jaro yang diberi wewenang dan bayarlah restribusi masuk yang telah ditetapkan. Sekedar info, rumah Jaro berada di Desa Ciboleger.
  4. Persiapkan fisik dan jaga kesehatanan. Kampung Baduy Dalam terletak di pengunungan Kendeng, untuk mencapainya kita harus berjalan kaki (trekking). Contoh: jika kita masuk melalui Desa Ciboleger, maka kita akan trekking sejauh ±8 km atau sekitar 3-4 jam berjalan kaki. 
  5. Bawa perlengkapan dan peralatan secukupnya. Anda tidak perlu membawa sabun, shampoo maupun odol karena dilarang digunakan di Baduy Dalam. 
Silahkan klik di http://facebook.com/Kalamantana untuk melihat foto-foto Baduy lainnya.